Manusia jadi kerbau? Ada. Emang bisa? Bisa, dong. Jelasnya, bukan kerbau beneran, melainkan kerbau jadi-jadian. Maksudnya, manusia didandani seperti kerbau. “Manusia kerbau” ini bisa kamu temukan pada kebo-keboan, sebuah tradisi di Banyuwangi yang hingga kini masih lestari. Kenapa kerbau? Karena kerbau adalah binatang yang membantu petani kala membajak sawah. Lantas, apa hubungan petani dengan tradisi kebo-keboan?
Ratusan tahun lalu, warga Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi pernah mengalami gagal panen cukup serius akibat penyakit yang menjangkiti desa tersebut. Salah seorang warga, Mbah Karti, mendapat wangsit untuk menggelar kebo-keboan sebagai bentuk permohonan keberhasilan panen kepada Dewi Sri, sang dewi padi.
Sejak itulah, warga Desa Alasmalang rutin menggelar tradisi kebo-keboan. Kebo adalah bahasa Jawa untuk kerbau. Puncak perayaan kebo-keboan digelar pada 10 Muharram atau 10 hari setelah peringatan tahun baru Hijriyah.
Sumber: https://nusantara.medcom.id/jawa-timur/bisnis/gNQY3PvN-jangan-lewatkan-ritual-kebo-keboan-di-banyuwangi-sabtu-ini (diambil dari Humas Pemkab Banyuwangi/Amaluddin)
Prosesi kebo-keboan dimulai dengan berziarah ke makam Mbah Karti, warga Desa Alasmalang yang menginisiasi kebo-keboan. Itu dilakukan seminggu sebelum puncak acara. Sehari sebelum puncak acara, digelar kenduri (semacam makan bersama).
Saat melaksanakan kenduri, warga membawa 12 tumpeng yang dilengkapi, antara lain 7 porsi bubur suro dan 5 porsi bubur sengkolo. Angka 12 melambangkan jumlah bulan dalam setahun. Angka 7 melambangkan jumlah hari dalam seminggu. Angka 5 melambangkan jumlah hari dalam penanggalan Jawa, yakni Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.
Itu tadi adalah tentang makna angkanya. Sekarang, tentang makanannya. Bubur suro dimasak dengan rempah-rempah dan di atasnya diberi telur dadar dan taburan beragam kacang, seperti kacang kedelai, kacang tanah, dan kacang polong. Bubur suro berasa gurih.
Bubur suro (sumber: https://cookpad.com/id/resep/5956800-bubur-suro yang diambil dari Indrajied @ Bubur Suryo)
Kalau bubur suro gurih, bubur sengkolo manis. Rasa manis berasal dari gula aren yang jadi salah satu bahan untuk membuatnya. Bubur sengkolo berwarna merah. Biasanya, di atas bubur sengkolo diberi sedikit bubur putih tawar.
Selain melaksanakan kenduri, sehari sebelum puncak acara, warga juga bergotong-royong membangun gapura dari janur. Di gapura tersebut terpasang beragam hasil bumi.
Saatnya puncak perayaan kebo-keboan. Inilah acara yang dinanti-nantikan warga dan wisatawan. Mereka menyemut di sepanjang jalan demi melihat barisan kebo. Tentu saja, bukan kerbau sungguhan, melainkan manusia yang didandani mirip kerbau.
Bubur sengkolo (sumber: https://dwiandi.wordpress.com/tag/jenang-baro-baro/)
Adalah pemuka adat Desa Alasmalang yang memilih siapa saja warga yang berhak “menjadi” kerbau. Semua yang dipilih berjenis kelamin laki-laki. Tubuh mereka dicat hitam legam. Di kepala mereka terpasang rambut palsu yang menyerupai rambut gimbal.
Agar semakin mirip kerbau, para lelaki terpilih itu mengenakan tanduk di kepala dan keluntungan (lonceng kayu) di leher. Tak lupa, mereka juga membawa peralatan membajak. Para kebo itu diarak sepanjang jalan. Selama diarak, mereka memeragakan gaya kerbau yang membajak sawah.
Sumber: https://www.bankbagong.com/kebo-keboan-alas-malang-13/
Selain para kebo, sosok lain yang juga menyita perhatian adalah Dewi Sri. Bukan Dewi Sri asli tentunya, melainkan perempuan yang didandani seperti Dewi Sri. Selama perarakan, ia duduk di atas tandu.
Ke mana tujuan akhir rombongan kebo dan Dewi Sri? Ke rumah budaya kebo-keboan. Di sana, mereka disambut Bupati Banyuwangi. Acara di rumah budaya kebo-keboan dibuka dengan pertunjukan tari tradisional. Sesudah itu, para kebo dilepas dan langsung nyemplung alias menceburkan diri ke kolam yang dipenuhi lumpur.
Sumber: https://snapshot.canon-asia.com/indonesia/article/id/the-traditional-ceremony-of-water-buffalo-impersonation-in-banyuwangi-indonesia
Aksi para kebo nyemplug ke kolam lumpur itu makin heboh, karena beberapa orang yang menonton juga ikutan nyemplung. Ada yang nyemplung untuk sekadar meramaikan, ada pula yang nyemplung karena ingin berebut bibit padi yang ditaburkan oleh perempuan pemeran Dewi Sri.
Makna sesungguhnya tradisi kebo-keboan adalah sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen sekaligus permohonan agar tidak mengalami gagal panen di waktu berikutnya. Selain Desa Alasmalang, desa lain di Banyuwangi yang turut menyelenggarakan tradisi kebo-keboan adalah Desa Aliyan.
Komentar