Entah cuaca sedang baik atau buruk, Yadnya Kasada harus tetap dilaksanakan. Tak terkecuali ketika Gunung Bromo sedang dalam erupsi sekalipun, Yadnya Kasada harus tetap berjalan. Hal ini karena Yadnya Kasada merupakan ritual yang digelar sebagai bentuk penggenapan janji pada Sang Hyang Widhi dan nenek moyang. Janji haruslah ditepati, apa pun kondisinya.
Adalah suku Tengger yang rutin melaksanakan Yadnya Kasada setiap tahunnya, tepatnya di hari ke-14 menurut penanggalan kasada. Siapa suku Tengger? Mereka adalah warga yang tinggal di desa di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur. Wilayahnya meliputi Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
Yadnya Kasada digelar sebagai wujud syukur serta permohonan keselamatan pada Sang Hyang Widhi. Dalam ritual tersebut, suku Tengger membawa beragam sesaji dan melarungnya ke kawah Gunung Bromo. Yadnya Kasada ada sejak generasi pertama suku Tengger dan sampai sekarang terus digelar untuk menggenapi janji pada nenek moyang.
Nenek moyang suku Tengger adalah Dewi Roro Anteng dan suaminya Raden Joko Seger. Anteng adalah putri dari Kerajaan Majapahit. Kala itu, sedang terjadi kerusuhan di Kerajaan Majapahit yang membuat banyak penduduknya mengungsi ke wilayah lain (eksodus). Salah satu tempat yang dituju adalah kaki Gunung Bromo yang tidak jauh pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3018127/suasana-puncak-gunung-bromo-saat-perayaan-kasada-suku-tengger?page=3 (diambil dari AFP Photo/Juni Kriswanto)
Anteng dan Seger termasuk yang mengungsi ke Gunung Bromo. Di sana, mereka menjadi pemimpin dengan gelar Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger. Kata Tengger diambil dari nama keduanya, Anteng (Teng) dan Seger (Ger). Di bawah kepemimpinan pasutri itu, suku Tengger hidup tenteram dan damai. Hasil panen pun melimpah.
Anteng dan Seger memang berhasil menjadi pemimpin. Namun, mereka menyimpan kesedihan lantaran belum kunjung dikarunai keturunan. Oleh karenanya, mereka bertapa di puncak gunung untuk memohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan. Suatu malam, di tengah-tengah proses bertapa, Anteng dan Seger mendapat bisikan bahwa mereka bisa memperoleh keturunan asalkan berkenan mengorbankan anak bungsu di kawah Gunung Bromo.
Anteng dan Seger menyanggupi permintaan tersebut dan akhirnya mereka mempunyai anak sejumlah 25 orang. Anak ke-25 alias anak bungsu bernama Raden Hadi Kusuma. Dialah yang seharusnya dikorbankan. Akan tetapi, sebagai orangtua, Anteng dan Seger tentu tidak rela menyerahkan anaknya pada kematian.
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3018127/suasana-puncak-gunung-bromo-saat-perayaan-kasada-suku-tengger?page=7 (diambil dari AFP Photo/Juni Kriswanto)
Mereka pun terpaksa ingkar janji pada Yang Maha Kuasa. Akibatnya, alam mengamuk. Langit menjadi gelap gulita. Gunung Bromo meletus dan memuntahkan api. Hadi Kusuma seketika terjilat api tersebut dan masuk ke kawah Gunung Bromo.
Tak lama setelahnya, terdengar suara misterius Hadi Kusuma. Ia mengatakan bahwa ia telah dikorbankan untuk keselamatan suku Tengger. Ia juga meminta agar suku Tengger rutin memberi sesaji setiap hari ke-14 di bulan kasada. Itulah awal mula suku Tengger menggelar Yadnya Kasada dan sampai sekarang masih terus dilaksanakan.
Prosesi Yadnya Kasada dimulai dari mendak tirta alias mengambil air suci. Lokasi pengambilan air suci berbeda-beda, tergantung wilayah tempat tinggal. Warga Tengger berjalan bersama-sama ke lokasi pengambilan air suci sambil membawa hasil bumi. Hasil bumi tersebut diletakkan di pelataran mata air sebagai persembahan pada Sang Hyang Widhi.
Sumber: https://beritagar.id/artikel/piknik/ngalap-berkah-lewat-air-suci-kadnya-kasada
Usai memberi persembahan dan memanjatkan doa, warga Tengger lantas mengambil air suci. Air suci dari berbagai mata air kemudian disatukan di Pura Lohor Poten yang terletak di tengah lautan pasir Gunung Bromo. Prosesi setelah mendak tirta adalah sameninga. Ini adalah saat masyarakat berkomunikasi dengan Sang Pencipta.
Usai melakukan sameninga, warga mempersiapkan sesaji yang nantinya dilarung ke kawah Gunung Bromo. Sesajinya berupa hasil ternak, hasil tani, dan uang. Uniknya, sesaji tersebut dirangkai sedemikian rupa dan ditempatkan pada ongkek. Itu adalah bambu yang di kanan dan kirinya dipasang pohon pisang utuh.
Pelarungan sesaji merupakan puncak ritual Yadnya Kasada. Sebelum proses pelarungan dimulai, pada tengah malam, ada pembacaan mantera oleh tetua adat dan pertunjukkan tarian tradisional. Setelahnya, warga berjalan beriringan menuju kawah Gunung Bromo. Sesaat usai matahari terbit, warga melarung (melempar) sesaji ke kawah Gunung Bromo.
Bagi sebagian orang, Yadnya Kasada dimanfaatkan untuk memperoleh sesaji gratis. Saat warga Tengger melempar hewan, buah, sayur, dan uang ke kawah Gunung Bromo, banyak warga lain yang menunggu untuk menangkap sesaji tersebut.
Yadnya Kasada 2019 telah diselenggarakan pada Juli lalu. Saat itu, Gunung Bromo sebenarnya sedang dalam kondisi erupsi. Meskipun demikian, seperti yang Mister bilang di awal, bagaimana pun kondisi alam, entah baik entah buruk, Yadnya Kasada tetap harus berjalan.
Komentar