Tahu film “Yowis Ben” yang tayang pada 2018 lalu? Film berbahasa Jawa itu turut menampilkan dua seniman Jawa Timur, Cak Kartolo dan Cak Sapari. Mereka adalah seniman ludruk. Kalian yang tinggal di Jawa Timur, pada tahu nggak, ludruk itu apa? Zaman sekarang, ludruk memang kian ditinggalkan. Ia kalah saing dengan kesenian modern, K-Pop misalnya. Jadi, wajar, kalau ada kaum milenial yang nggak ngeh soal ludruk. Supaya ngeh, yuk, baca ulasan dari Mister berikut.
Pernah nonton pertunjukan teater? Nah, ludruk itu juga teater. Teater dengan iringan musik gamelan dan dialog dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timuran. Maksudnya, bukan bahasa Jawa halus kayak orang di Solo atau Jogja gitu. Bahasanya pun bahasa sehari-hari sehingga mudah dimengerti seluruh kalangan.
Ludruk berkembang di berbagai daerah di Jawa Timur, seperti Surabaya, Mojokerto, Gresik, Jember, dan Probolinggo. Cerita yang diangkat dibagi dua, pakem dan fantasi. Pakem tentang tokoh terkemuka di Jawa Timur, sedangkan fantasi tentang kehidupan sehari-hari, termasuk untuk menyampaikan kritik.
Keunikan ludruk adalah seluruh pemerannya laki-laki. Yup, nggak ada perempuan yang ikutan. Terus, kalau ada tokoh perempuan, gimana? Ya, laki-lakinya mesti berdandan kayak perempuan. Tapi, kenapa, kok laki-laki semua? Baca sampai habis, ya, untuk tahu jawabannya.
Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ludruk-arboyo-media-sosialisasi-undang-undang-pemajuan-kebudayaan/
Pentas ludruk dibuka dengan pertunjukan tari Remo yang dibawakan seorang laki-laki. Gerakan pada tari ini tegas dan rancak. Kekhasannya ialah bunyi gemerincing tiap kali penari menghentakkan kaki. Bunyi itu berasal dari gongseng (gelang kaki).
Awal mula keberadaan ludruk masih rancu. Belum ada catatan pasti. Salah satu versinya ialah kisah pada 1890 tentang pemuda bernama Gangsar yang berasal dari Desa Pandan, Jombang. Gangsar punya ide untuk menampilkan kesenian berupa mengamen sambil berjoget. Ini menjadi awal mula ludruk.
Suatu hari, Gangsar bertemu seorang ayah yang tengah menenangkan anaknya yang menangis. Ayah itu mengenakan pakaian perempuan. Alasannya adalah untuk mengelabui anaknya supaya ia dikira ibunya.
Sumber: https://pesona.travel/keajaiban/3788/sejarah-ludruk-berawal-dari-ngamen-dan-jogetan (by Jabar Abdullah)
Gangsar melihat ayah yang berpakaian seperti ibu sebagai hal yang menarik. Itulah yang pada akhirnya membuat seluruh pemeran ludruk adalah laki-laki, sekalipun ada tokoh perempuan di situ.
Ludruk berkembang. Dari yang semula hanya berupa pertunjukan mengamen dan joget, akhirnya ditambah dengan dialog dan parikan (pantun singkat berbahasa Jawa). Singkatnya, ludruk menjadi pertunjukan teater.
Para pemain ludruk seringkali mengeluarkan dagelan yang bisa membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal. Buat kalian yang tinggal di Jawa Timur dan butuh hiburan murah meriah, kalian bisa banget, tuh nonton ludruk.
Sumber: https://beritagar.id/media/galeri-foto/waria-dalam-ludruk-yang-tergerus-zaman (by Fully Syafi)
Di Surabaya, mulanya, pertunjukan ludruk bisa disaksikan di gedung Pringgodani di komplek Taman Hiburan Rakyat (THR). HTM-nya murah, cuma Rp10.000. Tapi, sejak gedung itu ditutup, kini, pentas ludruk dialihkan ke Balai Pemuda di Jalan Gubernur Suryo.
Para seniman ludruk yang sampai saat ini masih eksis patut diacungi jempol, lho. Meskipun yang nonton pertunjukan mereka cuman dikit, mereka tetap menggelar pertunjukan. Meskipun nggak banyak generasi zaman now yang mau belajar ludruk, mereka tetap melestarikan.
Kalau kalian penasaran kayak gimana, sih, pentas ludruk itu, nih, Mister punya videonya. Silakan klik ini buat nonton.
Komentar